Percakapan di suatu pagi antara seorang asisten rumah tangga dengan seorang lelaki.
“Halo, benar ini rumah pak Bambang? Ini siapa ya?”
“Benar. Saya Inah (bukan nama sebenarnya), pembantunya pak Bambang.”
“Ibunya ada?”
“Ibu lagi pengajian, pulangnya jam 11-an”
“Begini mbak, saya anak buahnya pak Bambang. Bapak minta tolong dibelikan pulsa seratus ribu. Nanti setelah bapak rapat uangnya diantar ke rumah”
Sepenggal percakapan lewat telepon ini terjadi dua pekan silam. Dan Inah adalah asisten RT kakak saya. Percakapan itu menjadi pengantar kejahatan yang belakangan marak menjelang Lebaran. Asisten rumah tangganya yang masih belia dan polos terpedaya. Ia ‘dipaksa’ membeli pulsa untuk sang majikan hingga mencapai 2,5 juta rupiah. Jumlah yang aduhai tak sedikit, apalagi menjelang Lebaran seperti ini.
Modus yang digunakan sepele, pengisian pulsa. Sepertinya mereka mencari nomor telepon calon korban melalui buku telepon. Dengan mengandalkan halaman kuning atau yellow pages, komplotan penjahat ini diduga sudah berhasil menguras pulsa puluhan juta rupiah dari para korban.
Sasaran mereka adalah ibu-ibu yang awam, pembantu rumah tangga dan anak di bawah umur yang belum memiliki kesadaran melakukan pengecekan informasi. Saya tak tahu apakah metode yang mereka gunakan dalam menjalankan aksinya bisa dikategorikan sebagai hipnotis melalui suara. Karena korban yang saya ketahui, tidak bisa melepaskan diri dari perintah penelepon hingga uang jutaan rupiah pun lenyap seketika.
Dalam kasus yang menimpa asisten RT kakak saya, aksi penjahat ini baru terputus setelah kakak saya datang ke penjual voucher dan meminta dihentikan pembelian voucher pulsa tersebut. Menurut pengakuan Inah, ia tak kuasa menolak perintah “anak buah” majikannya tersebut karena takut dengan sang majikan. Ia menganggap telepon itu adalah perintah raja yang mesti dilaksanakan. Mekanisme cek and recheck tak pernah terpikirkan di benak Inah yang hanya sempat sekolah SD itu.
Oya, dalam kasus ini, sang penjahat selain menelpon asisten RT juga menghubungi penjual voucher pulsa. Penjual juga dibuat tak berdaya sehingga dengan mudahnya mengeluarkan koleksi vouchernya untuk digosok dan dikirimkan. Ia bahkan sempat meminjam ke pedagang lain mengingat stok jualannya terbatas.
Modus penipuan pulsa ini memang bukan satu-satunya jenis kejahatan menjelang Lebaran. Dalam waktu yang nyaris bersamaan seorang staf di sebuah kampus swasta di Jakarta nyaris menjadi korban komplotan penjahat. Modusnya cara lama melalui pesan pendek telepon seluler. Korban dinyatakan mendapat hadiah THR Lebaran dari salah satu operator telepon terkenal sebesar 20 juta rupiah. Korban yang terkejut karena tak pernah mengikuti satupun undian berhadiah pun kegirangan. Tak bisa berpikir jernih, ia lantas mengontak nomor telepon yang disebut dalam sms.
Nomor rekening pun kadung disebar pada komplotan penjahat. Untungnya ada kawan sekantor yang langsung mengecek ke call centre operator telepon. Korban kemudian diminta memblokir rekeningnya karena dikhawatirkan bakal dikuras para penjahat.
Ramadhan menjelang Lebaran adalah saat kebutuhan hidup melonjak. Peredaran uang pun konon meningkat drastis. Fakta ini digunakan para penjahat untuk mengeruk keuntungan secara cepat dengan cara kriminal. Saran saya, berhati-hatilah. Bukan tidak mungkin modus serupa menimpa anggota keluarga atau asisten RT kita di rumah.
Maka, waspadalah! Bijaklah menyerap informasi dari berbagai sumber. Informasi rejeki nomplok yang kadang kita dapat akan lebih baik jika diverifikasi terlebih dulu, agar kita tak menyesal kemudian. Salam waspada!