Malam beranjak. Speedy baru saja “on” lagi setelah beberapa jam error. Padahal sedang banyak ide tulisan. Hmm…perhatian saya akhir-akhir ini banyak tersita pada pemberitaan kasus dukun cilik Ponari. Ini menarik. Bukan karena uang yang dihasilkan begitu fantastis, konon sudah mencapai 1 Milyar rupiah.
Bukan, saya tidak dalam kapasitas ingin minta bagian sedikitpun dari Ponari. Meski saya butuh, saya tahu diri, itu rejekinya Ponari.
Kalau pekan lalu saya menulis mengenai sikap irasionalnya orang yang berbondong-bondong datang ke dukun cilik Ponari, kali ini saya justru prihatin dengan nasib bocah 9 tahun itu.
Black In News, hari Selasa kemarin mestinya Ponari mulai sekolah lagi, bermain lagi dengan kawan-kawan sebayanya di SD Negeri Balongsari 1 Jombang. Tapi apa yang terjadi? Ponari justru memilih mengobati ribuan pasien yang datang.
Saya tak yakin jika itu adalah keinginan Ponari. Bocah itu masih teramat lugu untuk mengetahui apa yang terjadi dan menimpa dirinya akhir-akhir ini. Saya yakin ini pasti kemauan orang-orang di sekelilingnya.
Sedikit flashback beberapa hari kemarin. Pasca ditutupnya praktek Ponari oleh polisi pekan lalu, nasib Ponari memang bak tambang emas yang diperebutkan banyak orang. Orang tuanya ingin anaknya kembali ke kehidupan normal, kembali sekolah dan sesekali mengobati pasien.
Sementara orang lain, kerabat dan tetangganya justru ingin sebaliknya. Semua karena fulus. Mereka tergiur dengan uang jutaan yang dihasilkan Ponari dengan begitu mudahnya. Hanya celup-celup sedikit ke dalam air sudah dapat uang. Siapa coba yang tak tergiur?
Saya miris melihat kenyataan yang dihadapi Ponari saat ini. Dilarang sekolah dan hanya diperbolehkan mengobati orang. Jelas bukan suatu hal yang bijak. Seorang bocah dijadikan sapi perahan, demi memenuhi hasrat bin nafsu orang dewasa.
Menurut saya ini jelas eksploitasi anak. Dari sisi apapun jelas ini melanggar hak pribadi anak. Anak seusia Ponari mestinya masih bermain dengan kawan sebaya, dan bersekolah seperti teman lainnya.
Di mana negara dalam hal ini? Harusnya negara segera tanggap dan mengambil tindakan yang jelas, demi menyelamatkan nasib anak yang dieksploitasi semacam ini.
Kemarin dulu memang Komnas Anak-nya Seto Mulyadi sudah datang dan minta kehidupan Ponari dikembalikan ke keadaan semula. Namun apa yang tampak? Diacuhkan semua rekomendasi Komnas Anak. Bahkan praktek yang semula ditutup untuk selamanya, hari Selasa ternyata berjalan kembali.
Di mana wibawa negara dalam hal ini? Kasus ini mestinya bisa dijadikan contoh bagaimana negara menyelesaikan persoalan anak. Di luaran banyak sekali kasus yang mungkin lebih kejam menimpa anak-anak kita. Tapi mumpung kita semua melalui media bisa mengakses Ponari story, mengapa tidak berbuat sesuatu?
Selamatkan Ponari dan juga anak-anak lain dari eksploitasi orang dewasa. Biarkan mereka tumbuh alami tanpa beban.
Black Community, apakah anda pernah mengeksploitasi anak?
DI TENGAH BURUK DAN MAHALNYA BIAYA KESEHATAN
Ketika pelayanan kesehatan buruk dan tak kunjung menyembuhkan luka yang dalam, hanya mendung yang menemani pilu dan getir ini, aku hanya bisa parah bersujud di langit-langit pengharapan.
Hari-hari aku lewati terasa bagai malam tak berkesudahan tanpa adanya suatu kesembuhan. Sementara, mahalnya biaya kesehatan semakin menekan dan menghimpit kehidupanku. Aku hanya bisa terbaring lemas di bawah bayang di tengah terik matahari.
Berhari-hari, hingga berminggu-minggu aku menderita sakit, berbagai obat kugunakan, namun tiada satupun yang membawa kesembuhan. Aku meraung-raung kesakitan. Hingga akhirnya dewata mengilhamkan kepadaku, Ku dengar sayup-sayup suara-Nya bahwa hanya batu bertuahlah yang sanggup mengobati lukaku.
Karena di dorong oleh rasa ingin mendapatkan kesembuhan, walaupun di luar akal sehat, bergegas aku mematuhi, menuju tempat itu…………………
………………………..
………………………..
Itulah kisah malang hidupku, bermunajat mendapat kesembuhan di tengah buruknya pelayanan kesehatan dan mahalnya ongkos pengobatan.
SUMBER:http://asyiknyaduniakita.blogspot.com/