0 0
Read Time:4 Minute, 45 Second

Kelas Inspirasi SDN Pulogebang 13 Jaktim (foto: Felix)

Kelas Inspirasi SDN Pulogebang 13 Jaktim (foto: Felix)

Kamis lalu, 24 April 2014 saya kembali terlibat di Kelas Inspirasi. Jika setahun silam bergabung dengan KI Bekasi, kali ini saya ikut dengan KI Jakarta.

Meski sudah pernah mengajar di KI Bekasi namun ajakan teman-teman Kelas Inspirasi tetap menggoda saya.

Kali ini saya bergabung di kelompok 13 di SDN Pulogebang 13 Pagi Jakarta Timur. Angka 13 kelompok kami hanya sebuah kebetulan dan bukan angka sial.

Awalnya cukup ketar-ketir dengan persiapan kelompok yang terkesan ‘adem ayem’. Grup Whatsapp yang kami buat tidak ‘seramai’ dan seheboh kelompok KI saya sebelumnya. Dugaan saya ternyata salah. Setelah ikut survey ke sekolah baru keyakinan saya pun tumbuh. Kami punya satu kesamaan, peduli pada pendidikan anak-anak.

Kehebohan di Hari Inspirasi

Hari “H” dengan semangat 45 usai sholat subuh saya berangkat ke lokasi. Jalanan ternyata cukup ramah pagi itu. Meski padat namun tak terlalu macet hingga bisa tiba pukul 6 pagi.

Di sekolah ternyata sudah ada beberapa inspirator yang lebih dulu tiba. Ada yg asyik membenahi alat peraga, ada yg membuat catatan kecil lesson plan. Saya seperti biasa santai saja.

Semalaman saya sudah membuat lesson plan sederhana dan beberapa alat peraga. Kelas Inspirasi memang mengharuskan para pengajarnya membuat lesson plan. Ini berguna membantu para inspirator dalam proses mengajar agar lebih efektif. Maklum kami berlatar belakang berbeda sehingga tak semuanya memiliki pengalaman mengajar di kelas. Apalagi yang diajar adalah siswa SD, kebayang akan seperti apa keriuhan di kelas nantinya.

Sesi Pembuka di Pagi Hari (foto: Felix)

Sesi Pembuka di Pagi Hari (foto: Felix)


Masuk ke kelas SD seperti melemparkan saya ke suatu masa sekian puluh tahun silam. Melihat anak-anak di kelas seperti melihat personifikasi diri saya sendiri. Mereka begitu spontan, lugu, apa adanya. Jauh dari kepura-puraan yang biasanya ditunjukkan orang dewasa.

Mengajar bagi saya memang bukan hal yang terlampau asing. Karena sehari-hari pekerjaan utama saya adalah mengajar. Namun jelas berbeda karakter yang diajar, sebab saya mengajar mahasiswa yang usianya jauh lebih dewasa.

Tantangan terbesar mengajar anak-anak adalah bagaimana kita bisa mengalahkan ego pribadi kita di hadapan anak-anak. Janganlah lupa bahwa audiens yang kita hadapi adalah anak-anak, sehingga butuh trik khusus ‘menaklukkan’ hati mereka.

Saya sendiri sengaja tidak terlalu ‘saklek’ dengan lesson plan. Panduan mengajar tersebut hanya saya gunakan untuk patokan bahan apa saja yang ingin saya sampaikan ke anak-anak. Namun metode atau cara mengajar mesti disesuaikan dengan usia dan kelas yang kita ajar.

Misalnya, bicara dengan siswa kelas 6 tentunnya akan berbeda dengan siswa kelas 1, 3 atau lima. Di depan siswa kelas 6 saya bisa terlibat diskusi menarik mengenai profesi Jurnalis Tv yang pernah saya geluti belasan tahun. Rupanya perkembangan intelegensia mereka memancing rasa ingin tahu yang cukup banyak. Pertanyaan maupun celetukan kerap menghiasi kelas saat saya menjelaskan profesi saya.

Widi dan Alat Peraganya (foto: felix)

Widi dan Alat Peraganya (foto: felix)


Lain ceritanya dengan siswa kelas 1. Kebetulan saya dapat kelas 1 yang sesi dua, yang belajar mulai pukul 9 hingga pukul 11.30 WIB. Awalnya saya melihat anak-anak begitu nice, penuh perhatian. Dalam hati saya membatin, tumben kelas 1 bisa setertib ini.

Sepuluh menit pertama memang ‘aman’, saya berhasil ‘merampas’ perhatian mereka untuk fokus mendengarkan penjelasan saya. Tapi yang terjadi setelahnya adalah ‘ujian’ sesungguhnya. Konsentrasi anak-anak mulai terganggu dengan suasana gaduh yang datang dari kelas lain. Suara nyanyian di kelas sebelah rupanya memancing ‘iri’ anak-anak.

Sayapun banting stir! Saya gunakan senjata pamungkas yakni mengajar mereka meneriakkan yel-yel dan bernyanyi. Saya senang mereka memilih lagu sendiri yang menurut saya tidak mainstream. Setidaknya saya kurang familiar dengan lagu itu, tapi anak-anak sangat menikmati. Saya menduga itu lagu ‘kebanggsaan’ siswa kelas 1 karena mereka begitu antusias menyanyikannya.

Saya juga coba ajak mereka menyanyi lagu ‘tepuk tangan’ yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi Tasya saat kecil dulu. Lumayan heboh. Apalagi saya sisipkan dengan adegan memukul meja yang membuat suasana kelas jadi ‘pecah’.

Satu dua tiga lagu sudah dinyanyikan dengan full energi. Saya mulai keteteran mengimbangi semangat anak-anak yang luar biasa itu. Di tengah kebingungan mencari stok lagu, tiba-tiba ada seorang siswa perempuan yang mengajukan diri menyanyi ke depan kelas. Virgiani siswa manis yang juga ketua kelas itu maju dan meminta diijinkan bernyanyi. Lagu yang dipilihnya tergolong tak biasa dinyanyikan anak SD seusianya. Dia menyanyikan lagu Betawi berjudul Sirih Kuning.

Suaranya jernih dan membuai telinga siapapun yang mendengarnya. Saya sempat merekamnya dan langsung mengunggahnya di youtube.

Tak Ada Kapok Mengajar

Jika sebelumnya saya hanya sempat mengajar di 3 kelas, maka di KI Jakarta saya mendapat kesempatan mengajar di 5 kelas secara maraton. Hanya diberi jeda beberapa menit untuk moving ke kelas berikutnya. Cukup melelahkan. Suarapun nyaris habis. Dan jika tubuh sudah letih ide-ide mengajar jadi tersumbat. Tapi meski lelah saya tetap semangat menyelesaikan semua tugas yang diamanatkan pada saya.

Merekalah Pemilik Masa Depan (foto: Viko)

Merekalah Pemilik Masa Depan (foto: Viko)


Selain semangat yang membara dari anak didik, hal yang membanggakan adalah kerja sama antar pengajar yang luar biasa. Kami berasal dari beragam latar belakang pendidikan, pekerjaan dan ideologi. Namun kami punya satu kesamaan, peduli pada nasib pendidikan anak negeri.

Usai mengajar di Kelas Inspirasi menjadikan saya ‘kapok mengajar’ jika hanya sampai di Pulogebang saja. Saya akan ambil kesempatan ketiga dan selanjutnya jika diberi kesempatan (lagi) di masa depan. Meski hanya sehari kami bertatap muka dengan anak-anak SD, namun saya dan juga kawan-kawan pengajar yakin anak-anak mendapatkan banyak hal yang bisa dijadikan bekal memahami sebuah cita-cita.

Di Depan spanduk Bentangan Cita-cita (foto: Felix)

Di Depan spanduk Bentangan Cita-cita (foto: Felix)


Kelas Inpsirasi, Bangun Mimpi Anak Indonesia…

Sehari Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi…

About Post Author

syaifuddin sayuti

Ex jurnalistik tv yang gemar makan dan travelling. social media addict, ex Kepsek Kelas Blogger, admin BRID.
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %