Black In News, heboh dukun cilik Ponari di Jombang Jawa Timur membuat saya heran. Memang untuk sehat orang bakal melakukan segala upaya. Bisa jalur formal dengan pengobatan medis, bisa pula pengobatan alternatif. Namun saya tak hendak mempertentangkan cara medis atau alternatif.
Yang saya soroti adalah betapa irasionalitas manusia mengalahkan segalanya. Mereka para pencari kesembuhan rela berjejalan, antri berjam-jam hanya untuk bisa diberi ‘doa’ oleh si dukun cilik Ponari.
Do’a? Saya tak tahu persis apa benar Ponari memberi do’a pada pasiennya. Dari tayangan tv terlihat, bocah cilik yang baru berusia 9 tahun itu hanya mencelupkan tangan yang menggenggam batu ‘ajaib’ ke dalam gelas berisi air milik pasien. Sederhana sekali. Konon dengan meminum air yang sudah dicelupi batu itu, pasien bisa sembuh dari penyakitnya (?). Simpel kan!
Saya tak habis pikir dengan cara pengobatan macam itu. Apa yang diobati sebenarnya. Kesannya hanya mistis. Tapi lebih tak habis pikir lagi, 4 nyawa terpaksa melayang lantaran berdesakan saat akan diobati. Duh!
Dimana rasionalitas warga ? Mengapa warga begitu percaya jenis pengobatan alternatif yang belum teruji sama sekali? Dan mengapa mereka harus mengorbankan nyawanya demi sebuah kesembuhan?
Kalau boleh disebut tragedi, kejadian di Jombang itu mencerminkan kegagalan penyelenggara negara dalam penyediaan fasilitas dan biaya kesehatan murah bagi warga. Karena di negeri ini biaya berobat bisa dikatakan mahal.
Untuk bisa dirawat di sebuah RS, pihak RS biasanya meminta uang panjar atau DP. Buat yang punya kerjaan dan bergaji tetap tiap bulan, mungkin tak soal. Problemnya, banyak warga miskin yang tak bisa memenuhi itu. Alhasil jika warga miskin sakit, mereka tak bisa terakses layanan kesehatan yang standar. Sehingga muncul joke, dilarang sakit buat orang miskin!
Selain DP, pasien miskin juga harus menunjukkan kartu miskin dari kelurahan setempat. Ini perkara mudah sebenarnya, tapi praktek di lapangan kadang rumit. Sehingga banyak warga yang enggan mengurus surat sejenis.
Punya kartu miskin pun bukan jaminan bisa melenggang diberi pengobatan optimal dari dokter dan RS. Segudang persoalan bakal menghadang lagi selama pasien dirawat di RS.
Lalu, sampai kapan kita bisa sakit dengan lapang dada? Sehingga sakit tak harus menjadi beban mental bagi si pasien maupun keluarganya.
Saya merindukan jaminan kesehatan yang memadai bagi semua orang. Siapapun penyelenggara negara, harusnya memprioritaskan persoalan elementer seperti ini. Karena kesehatan adalah inti kehidupan manusia. Rakyat sehat berarti urusan negara berjalan lancar. Begitu pula sebaliknya. Bukan begitu Black Community?
Sebenarnya ini sindiran dari Tuhan. Silih berganti, pemimpin terpilih yang waktu kampanye menjanjikan pengobatan gratis ternyata ingkar. Akhirnya Tuhan tanpa kampanye malah memberikan pengobatan gratis melalui ponari. Tapi dasar ndableg, mereka yang dulu janji malah nutup kuping. Alih2 menyadari kesalahannya, mereka malah menggandeng tenaga ahli untuk mengingkari keberadaan ponari dan menyudutkan masyarakat. Ck Ck Ck …
Bener… aku juga terheran2 dengan fenomena yang ‘ajaib’ ini… Bukan terpesona dengan kekhasiatan pengobatannya, tapi melihat berjejalnya manusia yang akan berobat…
Ada yang salah disini, aku setuju, dan harus diakui kalo kita sebagai negara dan bangsa yang emang lagi sakit… 🙁