SENANGNYA bekerja di media adalah ketika karya kita diapresiasi oleh orang lain. Apresiasi tak harus materi, bisa berupa pujian, kritikan atau penghargaan. Saya merasakan sejak dulu betapa senangnya jika ada yang mengomentari karya kita, meski pahit sekalipun. Itu tandanya karya kita dibaca atau dinikmati orang.
Nah, dalam konteks apresiasi tadi, kemarin saya menghadiri penganugerahan Mochtar Lubis Award 2009. Ini hasil kerja bareng Lembaga Studi Pers dan Pembangunan beserta MLA 2009. Ajang yang baru dua kali digelar ini memang bukan satu-satunya award bagi karya jurnalistik di negeri ini.
Jauh sebelumnya kita mengenal hadiah Adinegoro yang diberika sejak zaman Orde Baru. Saya tahu namun kurang mengikuti apa dan bagaimana anugerah Adinegoro itu. Biasanya diberikan terkait dengan peringatan hari Pers. Belakangan gaung penghargaan ini kurang bergema. Entah karena pemerintah sebagai pemberi penghargaan tak bisa ‘merawatnya’ atau ada sebab lain.
Sejumlah lembaga non pers pun belakangan berupaya memberikan award bagi jurnalis cetak maupun elektronika. Namun karena ada embel-embel sponsor produk, award-award itu kurang ‘maknyus’.
Nah, Mochtar Lubis Award dikonsep sebagai pemberian penghargaan bagi karya jurnalistik terbaik dari berbagai aspek, mulai dari investigasi, feature, foto, hingga liputan mendalam tv. Karena mengambil semangat dari jurnalis top Mochtar Lubis yang dikenal tajam dalam menulis dan cerdas menganalisa, penghargaan ini juga memberikan hadiah fellowship atau pembiayaan peliputan investigasi. Untuk tahun ini fellowship diberikan pada tim anak muda Aceh Feature yang akan menginvestigasi kematian 200 pasien gangguan jiwa di sebuah panti di Jakarta.
Direktur Mochtar Lubis Award, Ign Haryanto semalam sempat melontarkan impiannya agar di masa datang MLA ini bisa seperti hadiah Pulitzer di Amerika yang sangat prestisius itu. Sebuah mimpi yang membutuhkan kerja keras yang tak sembarangan. Bisa kalau mau.
Karena baru dua kali terselenggara, memang masih banyak bolong disana sini, mulai dari pengkategorian, publikasi yang kurang, hingga kemasan acara pemberian award yang membosankan. Saya jadi berpikir, mengapa acara jurnalis yang mestinya dikemas menarik harus kedodoran dan tak dijaga iramanya. Sehingga para undangan merasa bosan dengan jam karet, acara yang bertele-tele dan ketidak siapan LCD presentasi yang menampilkan karya para finalis.
Bayangan saya, semua karya finalis paling tidak bisa kita lihat di acara ini. Tapi apa yang terjadi, di Santika tempat acara, tak dipajang satupun hasil karya yang masuk menjadi finalis. Padahal acara akan lebih menarik jika dibuat seperti itu. Undangan bisa merasakan kedahsyatan karya finalis dan pemenangnya. Finalis jadi bisa mengukur diri seperti apa maunya juri, sehingga jika masih diberi kesempatan ikut, bisa mempersiapkan lebih baik.
Itu dari sisi penyelenggaraan acara puncaknya. Namun sebagai sebuah acara yang menstimulir jurnalis untuk membuat peliputan berbobot, acara ini tentunya harus terus berjalan dan ditingkatkan terus. Apalagi untuk kategori berita televisi yang baru satu kategori. Mestinya di tahun mendatang, untuk tv diberi kategori yang lebih longgar lagi. Sehingga banyak karya terbaik yang bisa ikut.
Untuk tahun ini juri untuk liputan mendalam tv mengaku kesulitan akibat hanya satu kategori tadi. Karena tak ada pengkategorian yang detil, akhirnya karya panjang 30 menit atau lima belas menit harus diadu dengan karya yang cuma 5 menitan. Meski bisa saja karya 5 menit memiliki bobot yang sama saat di lapangan maupun hasilnya, tapi hal itu sangat tak sebanding.
Ke depan, saya berharap penghargaan Mochtar Lubis ini akan terus naik gengsinya. Bukan hanya karena menyandang nama besar mantan jurnalis Harian Indonesia Raya saja, tapi juga menjadi rujukan bagi karya jurnalistik terbaik. Setidaknya menjadi barometer pencapaian kreatif insan jurnalistik.
Pemenang Mochtar Lubis Award 2009
1. Fellowship 2009 : Widiyanto, Samiaji Bintang dan Ronny Zakaria “Tragedi Kematian di Panti Laras”.
2. Liputan Layanan Publik : Nunuy Nurhayati, Philipus Parera, Yosep Suprayogi, Bagja Hidayat (majalah Tempo) “Akal-akalan Biaya Admin Listrik”.
3. Penulisan Feature : Ahmad Arif dan C. Wahyu Haryo P.S (harian Kompas) “Jejak Hitam di Jalan Sutra”.
4. Foto Jurnalistik : Boy T.Harjanto (Indopos) “Penggusuran Taman BMW”.
5. Liputan Mendalam Tv : Allan Maulana dkk (Astro Awani) “Skandal Limbah PMI”.
6. Liputan Investigasi : Yuliawati dkk (majalah Tempo) “Panen Musim Gugur”.