Suatu pagi di jalan Sudirman, kota Pangkalpinang. Sebuah kedai kopi di sudut jalan menjadi pemberhentian saya dan dua kawan saya. Kami memang sengaja mengeksplor sebagian sudut ibukota provinsi Bangka Belitung setelah dua kali menyambangi kota ini.
Pagi itu, suasana kedai kopi Akhew belum terlalu ramai. Hanya ada 4 lelaki separuh baya sedang bertukar cerita sembari menyeruput secangkir kopi.

Lelaki di Kedai Kopi (foto dokpri)
Kesederhanaan sebuah kisah masa lampau tercermin dari keberadaan kedai ini. Kedai ini hanya menyajikan sedikit tawaran menu, kopi, telur setengah matang dan beberapa macam kue serta gorengan. Akhew tak tergoda memberi suguhan roti bakar atau seduhan mie instan seperti banyak kedai di ibukota sana. Akhew masih mempertahankan kesederhanaan tampilannya.

Sederhana Penampakan Kedai (foto dokpri)
Bisa jadi apa yang ada di Akhew adalah upayanya merawat masa lalu dalam hirarki kekinian. Tak perlu memberinya furnitur mewah atau ruang ber-AC. Karena dengan kesederhanaan itu pengunjung malah leluasa melepas kangen atau bertukar kabar dengan sejawat atau pejabat kota dan provinsi tanpa batas.

The Real Open Kitchen (foto dokpri)
Jika di cafe modern dapur terbuka atau open kitchen menjadi sebuah komodifikasi yang dikaitkan dengan gaya hidup modern, maka di Akhew dapur yang mereka miliki benar-benar terbuka alias tak bertembok. Tak perlu mengaitkannya dengan gaya hidup, sebab bisa jadi pilihan ‘membuka’ dapur karena memang tak ada pilihan lain agar sirkulasi udara di dalam kedai lebih leluasa.
Tumbuh Bersama Kota
Bagi warga kota Pangkalpinang, nama kedai kopi Akhew tak bisa dipisahkan dengan degup perkembangan kota. Kedai yang sudah buka sejak tahun 1970 ini menjadi saksi pertumbuhan Pangkalpinang yang dihuni mayoritas warga etnis Tionghoa dan Melayu ini.

Seduhan Kopi ala Kedai Akhew (foto dokpri)
Kedai ini menjadi saksi perubahan geliat masyarakat Pangkalpinang. Dari kota kecil di sebuah pulau, menjadi sebuah ibukota provinsi.

Cemilan..cepuluh (foto: dokpri)
Kendati kota makin bersolek, namun Akhew masih tetap bersahaja. Masih menampakkan wajahnya yang sederhana. Kursi plastik, meja dan bangku kayu masih jadi penanda orisinalitas kedai ini. Pun begitu pula dengan rasa kopinya yang khas.

Berdua (foto dokpri)
Adalah pak Muis, lelaki 67 tahun yang pagi itu menjadi teman baru kami. Tampaknya ia sengaja memilih duduk di sisi luar kedai karena ingin bertukar cakap dengan kami. Baru saja perkenalan terjadi, kami sudah terlibat perbincangan akrab dengan pak Muis. Ia berkisah mengenai banyak hal, mulai soal kota, keluarga hingga stroke yang pernah membuatnya tak bisa berjalan. Tak berjarak. Kami bak kawan lama yang haus akan kabar masing-masing.

Pak Muis, Kawan Berbincang (foto dokpri)
Pak Muis mungkin tak bakal tercatat dalam sejarah kota Pangkalpinang. Namun dari sepenggal ingatan lelaki tua ini terungkap banyak sisi mengenai kota ini, mengenai pejabat kota maupun provinsi yang menjadi teman-temannya.
Menyenangkan bertukar kisah dengan pak Muis. Banyak kearifan hidup yang kami serap dari lelaki sederhana ini. Dan semuanya saya dapat di kedai Akhew yang juga sederhana.
jadi kangen..uhukk uhukk
[…] PangkalpinangMelihat Langsung Tradisi Cengbeng. Read more … » di pulau BangkaKesederhanaan ala Kedai Kopi Akhew, Pangkalpinang. Read more … » adalah ibukota provinsi Bangka Belitung yang memiliki banyak kawasan wisata yang […]
pasti di warung kopi jadul seperti ini tersimpan banyak rahasia kenikmatan. sedap dan membahagiakan
sebenarnya ini kedai kopi biasa, namun entah kenapa gubernur, walikota dan warga biasa senang nongkrong di sini. berarti benar ada sesuatu yang membuat mereka kemari
Benar2 sederhana .. kearifan hidup bisa didapat dimana kita berpijak. Keren inspiratif!
Paling tidak kalau sempat ke Pangkalpinang lagi udah tau mau nongkrong di mana kang..