0 0
Read Time:2 Minute, 31 Second

Kekerasan di Cikeusik Pandeglang Banten benar-benar mengusik kemanusiaan saya. Siang tadi usai menyaksikan video penyerangan terhadap sejumlah warga Ahmadiyah, tiba-tiba saya jadi malu pada diri sendiri. Saya malu sebagai sesama manusia menyaksikan adegan ‘panas’ yang dilakukan ‘saudara-saudara’ saya sendiri.

Rumah warga Ahmadiyah dihujani lemparan batu bertubi-tubi hingga hancur tak berbentuk. Serangan berlangsung begitu massif, 15 orang warga Ahmadiyah dipaksa berhadapan dengan ribuan orang yang tiba-tiba datang di Cikeusik. Jumlah yang tak imbang secara matematis ini pun berakhir tragis dengan tewasnya 3 warga dan belasan luka-luka.

Yang menyedihkan –dalam video terpampang dengan jelas bagaimana pembantaian itu terjadi. Jasad warga yang sudah tewas masihg dipukuli serta diinjak-injak. Duh! Nyeri sekujur tubuh saya menyaksikan adegan-adegan tersebut. Saya sampai meyakinkan apa yang saya saksikan bukanlah adegan film laga Hollywood yang kerap mempertontonkan kekerasan dengan telanjang. Bukan, yang saya tonton bukan film, tapi adegan sungguhan. Dengan para pemeran sungguhan tanpa peran pengganti.

Saya tak tahu apakah mereka yang ikut membantai saudara mereka sendiri di Cikeusik cukup waras otaknya. Karena jika mereka manusia tentunya tak akan tega melakukan tindakan tak beradab tadi.

Saya sendiri meski tak sepaham dengan ajaran Ahmadiyah sangat menyesalkan terjadinya kekerasan di Cikeusik. Ini bukti bahwa kita belumlah jadi bangsa yang tinggi toleransinya. Perbedaan keyakinan adalah warna kehidupan. Sangat tidak adil jika hanya karena tak menyetujui keyakinan orang lain, kita seolah menjadi pihak yang paling berhak atas nyawa orang lain. Kita bukan Tuhan yang memiliki otoritas terhadap hidup dan kehidupan di dunia in.

Dimana logika dan perasaan para pelaku kekerasan diletakkan?

Insiden ini sekaligus menjadi bukti betapa negara (lagi-lagi) tak hadir di tengah warganya yang dirundung petaka. Rasa aman itu sudah tak ada lagi di tengah masyarakat. Polisi sebagai pengaman masyarakat harusnya menjadi penengah, tapi apa yang terjadi ? Di lokasi penyerangan hanya terdapat segelintir polisi. Kemana yang lain?

Adalah aneh pernyataan Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang menyatakan pihaknya sudah mencium gelagat keributan sejak hari Kamis. Kalau memang benar pernyataan polisi, mengapa mereka tak membuat antisipasi agar tak terjadi benturan? Mengapa mereka menganggap remeh dan hanya menurunkan kekuatan personi l minimal?

Ada satu fakta yang menarik dari video penyerangan terhadap warga Ahmadiyah, yang mungkin juga diperhatikan pihak lain. Dalam video tersebut para penyerang terlihat menggunakan pita berwarna biru di dada. Entah ini pita organisasi apa dan dalam kepentingan apa mereka gunakan di TKP. Dugaan saya, penyerangan ini direncanakan dan diorganisir sedemikian rupa. Buktinya, mereka mengenakan atribut pita biru agar memudahkan identifikasi mana kawan dan mana lawan yang diserang.

Kasus kekerasan seperti yang terjadi di Cikeusik harus dihentikan. Masyarakat tak boleh kalah dan menyerah dengan kekuatan diluar hukum yang mengobrak-abrik tatanan dan bertindak seolah mereka paling benar. Hukum harus tegas dan tegak. Pemerintah jika masih mau dipercaya rakyat harus bersikap tegas. Hukumlah mereka yang bersalah, pisahkan perkara agama dengan kekerasan bertopeng agama. Apa yang terjadi di Cikeusik bukanlah kasus pertentangan agama, namun adalah kekerasan yang lagi-lagi menyeret agama ke dalam pusaran masalah.

Jika Cikeusik berdarah tak ada solusi hukumnya, saya mahfum jika banyak rakyat yang makin apatis terhadap pemerintah.

About Post Author

syaifuddin sayuti

Ex jurnalistik tv yang gemar makan dan travelling. social media addict, ex Kepsek Kelas Blogger, admin BRID.
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %