
Ceng Beng, Berdoa di Makam (foto dokpri)
Reuni Ceng Beng. Kecintaan dan penghormatan pada leluhur dipercaya masyarakat Tionghoa sejak lama. Karena mereka adalah akar kehidupan, akar dari kesuksesan hidup duniawi saat ini. Mereka yang mendatangi makam leluhur saat Festival Ceng Beng di Pangkalpinang, misalnya sepakat bahwa keberadaan dan kesuksesan yang mereka raih saat ini tak bisa dipisahkan dari peran para leluhur di masa lalu.
Saya yang hadir saat puncak Ceng Beng pekan lalu melihat bagaimana masyarakat Tionghoa merawat kecintaan mereka terhadap leluhur dengan sepenuh hati. Tak peduli berapa banyak rupiah yang mereka habiskan untuk persiapan sembahyang kubur yang ditandai dengan pembersihan makam, menyiapkan sesaji hingga membeli perlengkapan ibadah dan uang-uangan yang mereka siapkan untuk dibakar di makam.

Suasana Kuburan Sentosa Saat Ceng Beng (foto dokpri)
Untuk pembersihan areal makam leluhur sedikitnya 200 ribu rupiah harus mereka keluarkan per makamnya. Bayangkan berapa perputaran uang yang terjadi saat Ceng Beng. Jika jumlah makam 11 ribu-an unit dan misalnya semua warga hadir memuliakan leluhur mereka, jumlah uang yang berputar tinggal dikalikan saja. Jumlahnya sangat dahsyat.
Bagi masyarakat yang mengikuti tradisi Ceng Beng materi yang mereka keluarkan tak ada seujung kukunya dari jerih payah para leluhur. Karenanya uang tak terlalu mereka pikirkan. Bahkan banyak diantara peziarah yang berasal dari luar kota, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Belitung atau kota-kota lain di tanah air. Bahkan ada yang datang dari Singapura, Taiwan, RRC, hingga Amerika Serikat tempat mereka bermukim saat ini. Semuanya dilakukan sebagai penghormatan pada para leluhur.
Ajang Reuni Keluarga

Lampion, Lambang Harapan di Ceng Beng (foto dokpri)
Puncak ritual Ceng Beng biasanya dimulai sejak pukul 02.30 WIB dini hari. Namun tahun ini arus peziarah baru terasa padat selepas pukul 03.00 dinihari. Warga berbondong-bondong memasuki areal pekuburan Sentosa menggunakan beraneka moda kendaraan, roda dua maupun roda empat.
Jalan raya yang membelah areal pemakaman menjadi sedikit padat. Meski tersendat tak ada kendaraan yang menyalakan klakson. Mungkin karena mereka sadar tempat yang mereka lalui adalah pemakaman, sehingga peziarah sengaja menjaga sikap.

Jelang Pagi di Pekuburan Sentosa (foto dokpri)
Ada tradisi yang biasa dilakukan saat Ceng Beng dan masih terpelihara hingga sekarang. Peziarah datang ke makam dengan membawa sesaji yang telah disiapkan dari rumah masing-masing. Sesaji yang dibawa diantaranya Sam-sang atau tiga jenis daging, Sam kuo atau tiga macam buah-buahan dan Cai choi alias makanan vegetarian.
Soal sesaji sebagian berpendapat adalah persembahan bagi para leluhur sehingga mereka yang hidup tak boleh mengkonsumsinya. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat sebaliknya.

Reuni Keluarga di Pemakaman Sentosa (foto dokpri)
Di makam leluhur masing-masing peziarah melakukan ritual sembahyang. Sebelumnya, kubur diterangi oleh lilin, dibakar hio (garu), dan diletakan kim chin (uang palsu kertas) di atas tanah makam sembari memanjatkan doa bagi arwah agar tenang di alam baka dan meminta diberikan rezeki serta kedamaian.

Sesaji di Ceng Beng, Menghormati Leluhur (foto dokpri)
Mereka yang datang dari luar kota menggunakan Ceng Beng sebagai ajang reuni keluarga. Secara kebetulan saya sempat bertemu Budiman, warga Jakarta yang bersama keluarganya sedang bersembahyang di pekuburan Sentosa. Ia mengaku hampir tiap tahun pulang ke Pangkalpinang untuk mengikuti tradisi Ceng Beng. “Saya diajarkan orang tua untuk menghormati leluhur dengan berziarah. Prinsipnya mungkin sama dengan ziarah kubur yang dilakukan kaum muslim,” ujar putra asli Bangka ini.

Leluhur, Sentral Kehidupan (foto dokpri)
Bagi Budiman dan istri meski yang sudah tak lagi tinggal di Bangka, tradisi Ceng Beng tetap penting. Apalagi di momen seperti itu ia gunakan untuk bertemu sanak keluarga yang jarang ditemui. Reuni keluarga menjadi penanda kekerabatan dan nilai kekeluargaan masih dijunjung tinggi warga Tionghoa.

Reuni Keluarga dengan Leluhur (foto dokpri)
Sepenggal kisah yang dipaparkan Budiman menjadi penjelasan, setidaknya bagi saya pribadi, bagaimana relasi hubungan yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dengan para leluhur mereka. Ikatan yang terjadi antara mereka yang masih hidup rupanya menjadi landasan alasan mengapa di masa ‘datang’ ada tradisi Ceng Beng.
Izin ambil gambarnya 🙂
tolong sumbernya disertakan
Tradisi cengbeng sbg ajang mempererat silaturahmi
fotonya keren-keren Pak Udin
salam sehat dan semangat
makasih mas Agung.
silaturahmi ternyata milik semua. bahkan dengan mereka yang sudah meninggalkan kita pun mesti tetap dijaga
Eh ada fotokyu ?
hayoo lagi ngapaian sama mas Adi…
Mirip-mirip tradisi nyekar (ziarah) sebelum lebaran ya? Tp yg ini lbh meriah krn keluarga kumpul, mungkin ini slh satu kearifan budaya Tionghoa, meski keluarga terpisah jauh tp pd saat tertentu akan kembali ke akarnya yakni keluarga cmiiw 😀
Benar mbak April, mirip dengan nyekar. Hanya bedanya kalau nyekar dilekatkan dengan perayaan Iedul Fitri. Sementara ini hanya Ceng Beng saja.
Cara membina kerukunan memang beraneka ragam ya ? Dan tradisi ceng beng, salah satu warisan Tionghoa mengajarkan kekompakan antar sesama manusia yg patut ditiru 🙂
sepakat kang Ade, nilai-nilai itu ternyata universal, ada di semua agama.
Keren-keren banget banget bang fotonya. Tradisi ini jd mengingatkan saya dengan nenek saya sendiri. Jadi pengen jiarah.
maaf ya ceu kalo jadi bikin melow… kalau saya kangen almarhum bapak.