0 0
Read Time:2 Minute, 15 Second

Pandemi covid 19. Tahun 2020 sudah masuk bulan ketujuh. Namun baru separuh tahun banyak hal mengagetkan sudah saya alami. Diawali dengan pandemi Covid 19 yang terjadi di seluruh dunia. Jika di Wuhan, China Corona terasa sejak akhir Desember 2019, maka di Indonesia mulai ramai di awal Februari 2020.

Saya sendiri masih sempat traveling di awal Februari 2020 ke Singapura. Saat itu pengetahuan saya dan juga keluarga mengenai Covid 19 belumlah banyak. Meski khawatir tapi kami tetap lanjutkan rencana traveling di Singapura selama 2 malam 3 hari. Alhamdulillah aman perjalanan kami selama di sana hingga pulang ke tanah air.

Pertengahan Maret situasinya berubah. Kami para pekerja dan juga pelajar mulai dikarantina di rumah. Belajar maupun bekerja dilakukan semuanya dari rumah. Di tempat saya bekerja persiapan dilakukan secara cepat, untuk tidak mengatakan serba mendadak. Semua pihak dilatih menghadapi era tak biasa, era bekerja dari rumah.

Jakarta dan juga beberapa kota dan provinsi kemudian menerapkan PSBB (Pembatasan sosial berskala besar) setelah jumlah penderita Covid 19 terus bertambah. Dan untuk  menahan laju jumlah penderitanya diberlakukan pembatasan pergerakan warga. Warga diharapkan melakukan semua kegiatan dari rumah saja.

Beardaptasi adalah bahasa paling mudah dipahami selama pandemi. Karena setelah berjalan sebulan dua bulan, pandemi tak bisa diprediksi kapan akan selesai. Adaptasi diserahkan pada pribadi masing-masing. Kerja dipindahkan dari kantor ke rumah, belajar pun demikian. Kegiatan jual beli yang semula dilakukan secara langsung (offline) berpindah ke ranah online. Online jadi aktivitas baru yang kemudian akrab dengan hampir semua orang.

Pandemi dan Pil Pahit Bagi Pekerja 

Selepas Lebaran barulah situasi berubah. PSBB  yang diberlakukan di sejumlah provinsi pelan-pelan dikurangi. Pekerja mulai aktif lagi ke kantor meski masih terbatas. Kami bekerja hanya 3 hari di kantor, sisanya di rumah.

Dan.. penghujung Juni 2020 saya mendapatkan sebuah kenyataan pahit terkait pekerjaan. Saya terkena pemutusan hubungan kerja sodara-sodara setelah mengabdi selama 7 tahun lebih. Lho, kok bisa?

Ya, bisalah. Pandemi memang memakan banyak korban, karena saya memang tak sendiri. Banyak perusahaan yang merumahkan karyawan atau lebih ekstrem lagi mem-phk. Saya termasuk dalam kelompok kedua.

Saya terima dengan kesadaran penuh, bahwa putusan itu bukan akhir dari segalanya. Justru saya memasuki fase baru, merancang hal baru, beradaptasi dengan banyak hal baru. Pertengahan Juli petualangan saya berakhir di kantor. Next, apa yang bakal saya lakukan? Jujur, belum tahu. Saya ingin mengalir dengan kondisi ini. Manusia boleh berencana, Tuhan yang akan menentukan. Apakah saya kembali ke kampus atau memilih jalan lain?

Ini adalah pil pahit bagi pekerja. Butuh waktu untuk memahami mengapa semua ini terjadi. Tak ada yang menyangka situasi berubah begitu drastis hanya dalam hitungan bulan. Tapi saya sangat optimis, pandemi bukan harga mati, bukan akhir segalanya. Akan banyak peluang terbuka untuk orang yang tetap semangat dan optimis. 

 

About Post Author

syaifuddin sayuti

Ex jurnalistik tv yang gemar makan dan travelling. social media addict, ex Kepsek Kelas Blogger, admin BRID.
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %