0 0
Read Time:4 Minute, 6 Second
Blog (aumber: http://www.blogherald.com/2013/12/10/4-things-look-blog-theme/)

Blog (sumber: http://www.blogherald.com/2013/12/10/4-things-look-blog-theme/)

Ada pertanyaan menarik dari seorang blogger Bandung di sebuah acara sharing mengenai Reportase ala Blogger, beberapa pekan lalu. Si blogger mengaku belum terlalu lama nge-blog dan punya persoalan dalam ‘gaya’ atau style tulisan. Ia merasa gaya tulisannya kaku, tidak mengalir seperti blogger lainnya yang kerap ia temukan.

Menurutnya, hal ini kadang membuatnya tidak pede mempublish sebuah tulisan di blog. “Saya khawatir tulisan saya ditertawakan orang, dianggap tak mutu lah,” begitu antara lain keluhan si blogger.

Apa yang dikeluhkan blogger tersebut bukan pertama kali saya dengar. Beberapa kawan juga pernah mengeluhkan hal serupa. Biasanya, ini dialami blogger yang jam terbangnya di dunia blogging belum terlalu lama.

Sulit-sulit mudah menjawab pertanyaan ini. Tapi saya tak akan memberikan jawaban sulit. Kalau ada yang mudah kenapa harus dipersulit. Dan yang paling mudah adalah menyarankan pada siapapun yang mengalami ini untuk terus menulis. Buat saya jauh lebih penting memelihara semangat menulis ketimbang memikirkan style tulisan.

Jauh lebih baik untuk terus menulis karena apa dan bagaimanapun bentuk tulisan kita itu adalah hasil karya kita sendiri. Dengan berjalannya waktu, dengan makin banyaknya jam terbang menulis kita, maka perlahan kemampuan kita makin terasah. Gaya tulisan kita makin terbentuk.

Butuh Latihan

Karena menulis mesti terus diasah, tidak ada resep yang cespleng seperti minum obat. Menulis itu butuh latihan. Bukan hanya si bloggernya saja yang butuh piknik, menulis itu butuh latihan dan latihan.

Sepanjang kita mau terus meningkatkan diri dengan berlatih maka gaya menulis itu bakal terbentuk dengan sendirinya. Saya sendiri butuh waktu yang tidak sebentar hingga merasa nyaman dengan gaya menulis saat ini.

Jauh sebelum bergelut dalam dunia blogging saya sempat mendalami bidang junalistik cetak dan televisi. Di media cetak saya terbiasa menulis dengan deskripsi panjang lebar. Sebuah tema sederhana mengenai kue cubit misalnya, di tangan wartawan cetak akan bisa diurai hingga 5-6 halaman ketikan. Mulai dari apa itu kue cubit, kenapa saat ini jadi trend, dan apa saja topping kue ini sehingga jadi cemilan yang hits.

Sementara bagi mereka yang berada di tv, topik  yang sama bisa jadi hanya butuh durasi paling panjang 3 menitan, dengan naskah yang tak seberapa panjang.

Bagaimana dengan gaya tulisan di kedua platform media tersebut? Media cetak jelas punya banyak ruang untuk menjelaskan sebuah topik lebih terperinci, gaya tulisannya relatif lebih banyak, bisa menggunakan kaidah penulisan jurnalistik yang diyakini para wartawan turun temurun. Bisa pula menggunakan style penulisan yang lebih mengedepankan fakta keras (straight news).

Beda dengan media tv. Durasi jadi persoalan yang sebenarnya cukup membatasi ruang para jurnalis maupun penulis naskah tv untuk berkreasi. Menulis menjadi sangat pendek, tidak mendalam, deskripsi tidak perlu terlalu ‘rigid’ karena sudah dibantu oleh gambar-gambar video yang menjelaskan banyak hal.

Apakah tulisan di TV menyalahi kaidah penulisan? Tidak. Lalu, apakah tulisan di koran edisi minggu yang ditulis panjang lebar jauh lebih baik dari tulisan di TV? Tidak juga. Sebab tiap platform media punya gaya dan masing-masing jenis media juga punya pengaruh.

Tips Penting

Untuk bisa menemukan gaya tulisan yang ‘kita banget’ ada tips sederhana yang mungkin berguna.

Pertama, tulislah sebanyak mungkin konten orisinal dari hasil pemikiran sendiri. Merangkai sebuah fakta menjadi tulisan butuh ketrampilan tersendiri. So, kalau kita sudah berhasil mewujudkan sebuah tulisan yang ‘bercerita’ maka anda sudah berada di track yang tepat.

Tema orisinal tak perlu topik yang rumit, tak perlu soal politik kenegaraan atau soal-soal besar di negeri ini. Tema bisa tentang apa saja. Minat dengan parenting, bisa menulis tentang hubungan anak-ortu di era gadget. Suka kulineran, buatlah review tempat makan asyik di sekitar kita. Tak perlu resto mahal dan berkelas. Review tempat makan bisa dilakukan mulai dari kelas warteg hingga resto kelas atas. Yang penting bukan restonya, tapi bagaimana  kita mendeliver pesan mengenai kuliner yang kita cicipi sehingga  sampai di ‘hati’ pembaca.

Kedua, tulislah sesuai minat dan kemampuan sendiri. Suka gadget ya konsentrasilah di bidang itu. Jika keranjingan jalan-jalan maka menulislah seputar traveling. Jangan ubah minat anda hanya karena di luaran sedang banyak dibutuhkan genre blog tertentu.

Ketiga, jangan pernah tergiur mempunyai gaya tulisan seperti Hazmi Srondol atau Chika Nadya. Sudahlah, mereka itu seleb blog yang sudah punya style tersendiri dan blogger lain tak perlu mencontek gaya menulis mereka.

Terinspirasi gaya menulis para seleb blog boleh-boleh saja, tapi jangan menirunya. Haram hukumnya. Percayalah tak ada gaya yang sama di dunia. Makin otentik atau orisinal gaya yang kita buat, maka makin banyak orang yang penasaran dengan postingan kita.

Pelajari bagaimana mereka membuat sebuah tulisan, menuangkannya menjadi sebuah postingan kece. Tetaplah jadi diri sendiri, dengan style bentukan sendiri.

Keempat, jangan pernah copas. Copas itu merusak kemampuan menulis karena semuanya sudah tersedia di blog orang lain dan anda tinggal copy dan paste di blog pribadi. Mengcopas juga berarti membuat kita tak kreatif menciptakan style berbahasa sendiri. Kita jadi terjebak pada gaya bahasa orang lain. Lagipula, malu ah copas. Nagku-ngaku karya kita, padahal…

Sekian.

About Post Author

syaifuddin sayuti

Ex jurnalistik tv yang gemar makan dan travelling. social media addict, ex Kepsek Kelas Blogger, admin BRID.
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %