Polisi Jakarta sedang gencar menggelar operasi simpatik di jalanan ibukota. Ini terkait mulai berlakunya ketentuan penggunaan helm standar nasional indonesia (SNI). Jika pekan-pekan sebelumnya, polisi hanya memberi peringatan, sejak sepekan terakhir tilang mulai berlaku. Tiap pengendara sepeda motor yang menggunakan helm tidak berstandar SNI bersiaplah menerima sempritan di jalanan.
Sayangnya, meski bernama operasi simpatik, pelaksanaan di lapangan sangat tidak simpatik. Seperti yang saya temui pagi tadi di kawasan Kampung Melayu arah Matraman Jakarta Timur. Sejumlah pengendara sepeda motor antri di depan bank Danamon untuk mengambil lagi SIM dan STNK yang ditahan polisi. Kesalahan mereka beragam. Ada yang menggunakan helm biasa dan tak berstiker SNI, hanya menggunakan hel proyek, serobot jalur Busway, hingga yang parah tak bawa SIM atau STNK.
Beberapa pengendara yang punya pengalaman dalam perkara tilang menilang, biasanya langsung mengajak mojok polisi. Setelah sedikit negosiasi, selembar 20 ribuan langsung berpindah tangan. Lain halnya bagi mereka yang tak punya pengalaman dan mengeluarkan selembar 50 ribuan. Inipun langsung dikantongi petugas dengan ceria.
Saya yang kebetulan ada di lokasi sempat mendengar debat panjang pengendara motor yang kena tilang, agak kaget juga saat diminta memberikan uang lebih dari 200 ribu rupiah. Selidik punya selidik ternyata dia lupa membawa SIM dan hanya berbekal STNK di kantung. Ia sudah menunjukkan petugas 4 lembar 50 ribuan, namun sang petugas merasa kurang. Entah bagaimana penyelesaian akhir kasus ini, karena saya segera berlalu dari tempat itu.
Hmm..pungutan liar alias pungli masih saja terjadi. Dan jalanan menjadi lahan basah bagi polisi nakal. Mereka sepertinya tak pernah takut tersentuh perkara hukum gara-gara pungli. Aliran duit di jalanan bisa jadi dalam sehari nilainya mencapai angka milyaran rupiah. Polisi jeli memanfaatkan ketidak taatan pengguna jalan pada aturan, mereka juga pintar menjerat korbannya dengan penyitaan surat kendaraan. Senjata paling ampuh bagi polisi yang membuat pengguna jalan tak berkutik.
Sampai kapan praktek kongkalikong polisi dengan pengguna jalan seperti ini bakal terjadi? Tak ada yang bisa meramalkan. Tapi saya pikir akan terus bergulir selama ada suplay and demand. Ada pelanggar, pasti ada penyelesaian. Dan penyelesaian bukan lagi di meja pengadilan tapi ada pada mental korup aparat.
Polisi tampaknya tak juga jera. Meski di mabes bergolak soal makelar kasus alias maksus yang menyeret para petinggi polisi, kasus recehan yang melembaga semacam ini terus berulang.