0 0
Read Time:5 Minute, 26 Second

Punya rumah sendiri adalah impian bagi semua pasangan muda. Begitu pula bagi saya saat memutuskan menikah di usia 26 tahun. Saat menikah kami benar-benar merintis hidup dari nol. Pekerjaan saya di sebuah agency kecil hanya cukup untuk hidup sendiri. Tapi saya dan istri sepakat menikah dengan segala resiko yang bakal kami hadapi.

Kami punya prinsip yang simpel, jika semasa hidup membujang saya bisa menghidupi diri sendiri, tentunya kalau berdua dengan istri rejeki pasti mengalir. Prinsip ini bukan pembenaran kondisi keuangan saya yang masih apa adanya, namun lebih karena saya percaya rejeki, hidup dan mati semuanya sudah diatur oleh Allah SWT. Yang penting kita hidup digaris yang benar, halal dan tak merugikan orang lain.

Sebagaimana pasangan muda lainnya, kami juga punya mimpi ingin punya tempat tinggal sendiri, tidak menumpang di rumah ortu. Sempat tercetus keinginan jadi kontraktor alias mengontrak rumah, tapi ditentang oleh almarhum Bapak.

“Selama kalian belum bisa beli sendiri, jangan pindah dari rumah Bapak. Daripada uang digunakan untuk ngontrak, lebih baik ditabung. Kalau sudah terkumpul dan cukup untuk DP, silakan tentukan sikap,” begitu argumen bapak.

Di satu sisi ternyata ada benarnya juga pernyataan ‘keras’ bapak tersebut. Saya diminta realistis mengelola keuangan, jangan hanya karena gengsi harus punya rumah akhirnya terpaksa pinjam sana sini. Yang bapak inginkan adalah kita bisa menabung dulu baru berfikir soal hunian.

Sebuah sikap yang sederhana dari seorang bapak pada anaknya. Saya belajar banyak mengenai hal itu dari Bapak. Untungnya waktu itu saya menuruti kemauan Ortu dan tetap tinggal bersama mereka. Mimpi mengontrak sementara saya benamkan dalam-dalam. Allah pasti punya rencana lain ‘menahan’ saya di kediaman bapak.

Berburu Rumah

Namun tidak mudah mewujudkan keinginan punya hunian, apalagi melihat harga rumah yang selangit di Jakarta. Tiap kali ada pameran rumah di JCC atau mall di sekitar Jakarta, sayapun aktif berburu informasi, mencari lokasi dan info harga terkini.

Entah sudah berapa banyak developer kami datangi, sudah berapa lembar brosur kami kumpulkan dari berbagai pameran. Kesimpulannya cuma satu: mumet melihat harga-harga yang ditawarkan. Gila, apa bisa kami beli hunian di Jakarta dengan kondisi keuangan yang ada?

Agak putus asa juga waktu itu. Beberapa kawan senasib sering bercanda dan mengatakan, “Dengan gaji segini, susah dah punya rumah sendiri. Apalagi di Jakarta yang harganya selangit. Mimpi kali ye..”

Tapi sudahlah, mungkin Jakarta memang bukan buat saya, mengingat harga rumah yang tak terjangkau kantung saya pribadi. Kalaupun saya masih menumpang di rumah ortu, itung-itung menemani mereka. Apalagi setelah anak pertama lahir, rumah ortu semarak oleh celotehan dan tangis anak saya yang juga menjadi cucu pertama Bapak-ibu.

Belum bisa beli rumah bukan berarti pencarian kami akan rumah surut. Perburuan pun kami perluas. Kami realistis, rumah impian tak harus berlokasi di Jakarta, tapi bisa juga di kawasan lain di jabodetabek. Meski bukan Jakarta, toh masih nempel dengan Jakarta, begitu kami sering menghibur diri.

Kamipun blusukan ke Bogor, Bekasi hingga Tangerang. Dan titik balik terjadi saat kami memutuskan untuk membeli rumah kakak ipar di kawasan Kranggan Bekasi dan pindah dari rumah bapak. Padahal awalnya kami malas menerima tawaran itu dengan alasan tidak familiar dengan kawasan perumahannya.

Karena tak mau mengecewakan tawaran kakak ipar, akhirnya saya dan istri iseng melakukan survey ke lokasi. Meski sempat nyasar sana sini, kami akhirnya sampai juga di rumah yang ditawarkan kakak. Rumahnya tak seberapa besar, cuma tipe 21.

Soal tipe rumah saya tak terlalu bermasalah. Toh kami waktu itu adalah keluarga kecil dengan satu anak. Ukuran rumah segitu pasti cukuplah.

Yang menyenangkan, ternyata lokasinya tak jauh-jauh amat dari Jakarta. Bahkan jika lewat jalan tol Jagorawi, cuma butuh sekitar satu jam dari rumah ortu di kawasan Joglo.

Bagaimana soal harga? Ini merupakan titik kritis yang kerap menjadi persoalan bagi saya. Kakak ipar menjual rumah itu kepada kami seharga 35 juta rupiah, dan kami hanya diminta bayar sebisanya. Waini….

Saya yang cuma punya duit cash 25 juta rupiah akhirnya langsung setuju. Sisanya? Untuk melunasi sisa pembayaran rumah, kakak ipar tak mematok berapa rupiah saya harus cicil tiap bulannya. Ini enaknya. Saat ada rejeki, kami bisa membayar seratus-dua ratus ribu rupiah per bulan. Namun, ketika kebutuhan meningkat dan tak ada sisa uang untuk mencicil, kami minta izin kakak ipar untuk tak mencicil sementara.

Beruntungnya kami, kakak ipar selalu mengamini penundaan pembayaran yang kami ajukan. Bukan bermaksud ingkar, tapi kami hanya berusaha selalu jujur mengungkapkan kondisi keuangan kami sebenarnya. Yang penting kami selalu komit untuk membayar cicilan meski tersendat.

Singkat cerita, kami berhasil melunasi sisa pembayaran rumah selama 3 tahun. Legalah kami, rumah itu akhirnya sah kami miliki. Sampai kapan pun kami tak akan pernah melupakan kisah mendapatkan rumah pertama kami. Meski berukuran kecil dan kini tinggal kenangan, namun rumah itu penuh dengan perjuangan.

Begitulah akhirnya kami punya rumah sendiri setelah 3 tahun menikah. Ternyata hidup ini penuh misteri. Di saat kita kesulitan dan tak tahu harus berbuat apa, pertolongan dari Allah tanpa kita sadari hadir melalui tangan kakak ipar.

Berburu Rumah Kedua

Nah, rumah yang saya tinggali sekarang adalah rumah kedua. Ceritanya perburuannya pun tak kalah seru dari rumah pertama.

Ceritanya bermula saat kami menyadari rumah pertama kami sudah cukup sesak. Penambahan anggota keluarga tak kami barengi dengan penyediaan ruangan yang layak. Karena cuma tipe 21, kami kesulitan melakukan perluasan rumah. Jalan satu-satunya adalah menjadikan rumah kami vertikal. Setelah berhitung dan konsultasi dengan ortu dan kakak, kami disarankan untuk tidak meningkat rumah karena anggarannya sangat besar. Lebih baik beli rumah baru yang berukuran lebih besar, begitu saran mereka.

Saya tak langsung mengiyakan saran tersebut. Kebayang betapa repotnya mencari rumah yang sesuai ukuran namun dengan harga yang terjangkau kantung kami.

Kamipun kasak-kusuk ke tetangga sebelah kanan-kiri, menanyakan apakah rumah mereka mau dijual. Saya menawarkan diri untuk pertama dikabari. Ternyata kedua tetangga juga sama, menunggu saya menjual rumah untuk perluasan rumah masing-masing. Ooo….

Akhirnya cerita perburuan rumah pun kami lakukan lagi. Beda dari yang pertama, kali ini kami rajin berhubungan dengan agen penjualan rumah maupun developer. Umumnya perburuan kami lakukan dengan menelepon terlebih dahulu. Lebih simpel dan hemat tenaga dan waktu. Jika sesuai harapan baru kami janjian untuk cek lokasi.

Dan tiap akhir pekan atau saat saya libur di hari kerja, saya susuri sejumlah lokasi perumahan untuk mencari tahu rumah yang murah namun lega. Sulit ternyata, kalaupun ukurannya cocok dengan keinginan kami, harganya tak bersahabat. Sebaliknya, jika harganya terjangkau ternyata ukurannya kurang sesuai harapan.

Kini kami tinggal di rumah kedua yang jauh lebih lega dibanding rumah pertama. Jika rumah pertama ada bantuan kakak ipar, sebaliknya di rumah kedua kami mulai berani berhutang dengan Bank. Namun itu juga penuh pertimbangan. Meski berat di awal, Insya Allah tahun depan cicilan rumah kami lunas. Yiha…..

About Post Author

syaifuddin sayuti

Ex jurnalistik tv yang gemar makan dan travelling. social media addict, ex Kepsek Kelas Blogger, admin BRID.
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %