Kabar itu datang dari Makassar, Sulawesi Selatan. Dua mahasiswa Fakultas Tehnik Universitas Negeri Makassar kemarin (kamis petang) tewas akibat tawuran. Parahnya, keduanya tewas dalam tawuran lanjutan di Rumah Sakit Haji! Saat itu keduanya bermaksud menjenguk rekannya yang terluka akibat tawuran yang berlangsung di kampus.
Miris dan menyedihkan tak cukup untuk menggambarkan peristiwa tragis tersebut. Dua orang “mahasiswa” yang kerap disebut sebagai kalangan intelek meregang nyawa dengan cara yang tak terhormat, yakni karena tawuran. Apapun alasan dan pemicu peristiwa tersebut tindakan para mahasiswa yang melakukan tawuran tersebut benar-benar memalukan. Apalagi konon kabarnya pemicu tawuran cuma hal sepele, kesal karena mahasiswa Fakultas Tehnik dilempari batu.
Yang membuat saya tak habis pikir mengapa tawuran yang semula dilakukan di dalam kampus harus berlanjut di RS. Insiden berdarah di kawasan rumah sakit ini mengingatkan kasus serupa yang terjadi di RS Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto Februari silam yang menyebabkan 2 orang tewas dan belasan luka-luka. Bedanya, peristiwa di RSPAD terjadi antar kelompok preman.
Lalu apa bedanya preman dengan mahasiswa jika perilaku mereka sama dan sebangun? Apa coba yang dibela para mahasiswa sehingga nyawa taruhannya? Bagaimana mahasiswa bisa diandalkan menjadi pemimpin masa depan, jika sejak di bangku kuliah hanya terlibat dalam isu recehan yang bernama tawuran?
Saya kira ingatan kolektif kita masih cukup kuat dengan peristiwa tawuran antara siswa SMAN 70 dengan SMAN 6 Jakarta beberapa pekan lalu yang menyebabkan seorang siswa SMAN 6 tewas. Bukan hanya dikecam, namun peristiwa ini menyentil kesadaran orang tua dan para pendidik, betapa ada yang salah dengan persoalan pekerti pemuda jaman sekarang. Saldiba istilahnya, salah dikit bacok!
Kasus tawuran antar siswa SMAN 70 dan 6 hingga kini belum juga tuntas. Para pelaku masih dimintai keterangan polisi. Drama kasus tawuran ini sepertinya bakal panjang, tak cukup selesai di tangan polisi secara hukum. Beruntung kedua pihak yang berseteru kemudian menyadari persoalan ini mesti diselesaikan dan dicari akar persoalannya. Dan melalui media kita bisa lihat kedua pihak terus berupaya ‘menjaga’ para siswa dari kemungkinan tawuran susulan.
Saya yang kebetulan alumni SMAN 70 pernah juga merasakan kehilangan seorang teman akibat tawuran. Di penghujung 80-an seorang kawan menjadi korban penusukan siswa sebuah sekolah kejuruan. Kasus ini memang berbeda dengan yang dialami Alawy beberapa pekan ini. Karena kawan saya meregang nyawa 2 tahun kemudian, lantaran karat dari benda tumpul yang pernah bersarang di kepalanya membuat infeksi.
Saat itu berita kematian kawan saya tadi tak sampai mendapat sorotan media cetak maupun tv sehingg kasus ini tak jadi pembicaraan nasional. Tapi apapun itu saya pribadi benci dengan tawuran. Tak ada untungnya. Malah banyak ruginya. Badan luka-luka, masuk rumah sakit, dan bisa berujung di kamar mayat.
Ayo sudahi tawuran. Siapapun kalian tak akan keren kalau tawuran. Masih banyak hal yang bisa dilakukan dengan enerji masa muda. Tak perlu tawuran. Sudahi, jangan menambah daftar korban tewas hanya karena tindakan konyol yang tak perlu.
BANGKAPOS.COM, JAKARTA — Melanjutkan proses penyelidikan terhadap perkelahian pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 di Bulungan, Jakarta, Senin (24/9/12), polisi telah melayangkan panggilan terhadap 15 siswa SMA Negeri 70 untuk dimintai keterangannya. Jumlah ini berbeda dengan keterangan awal yang menyatakan terdapat 16 siswa yang akan dipanggil.”Setelah penyelidikan, satu orang ternyata tidak berada di tempat kejadian makanya tidak dipanggil,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Hermawan, Sabtu (29/9), di Mapolrestro Jakarta Selatan.Semua nama ini diperoleh berdasarkan keterangan FR dan saksi-saksi lain. “Kami akan tanyakan sejauh mana peran dan keterlibatan mereka dalam tawuran di Bulungan,” lanjut Hermawan.Adapun dengan kemungkinan jerat pidana terhadap 15 nama ini, Hermawan masih belum memastikan. “Untuk bisa menjerat, kami masih harus menunggu keterangan dari mereka serta hasil penyelidikan,” urai Hermawan.”Mereka baru bisa terkena jerat Pasal 170 KUHP mengenai pengeroyokan jika memang sudah terbukti ikut serta dalam peristiwa pengeroyokan tersebut,” ujarnya.Perkelahian antara pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 memakan satu korban jiwa, Alawy Yusianto Putra (15), siswa kelas X SMA Negeri 6 Jakarta. Alawy tewas setelah mendapat bacokan di dada oleh FR, siswa kelas XII SMA Negeri 70. Hingga saat ini FR masih ditahan dan menjalani proses penyidikan di Mapolrestro Jakarta Selatan.
gak papa kok mbak Lintang. makasih sudah mampir kemari.
saya jg berencana bakal ‘cerewet’ soal tawuran, karena menurut saya sudah tak masuk akal lagi. ini bukan sekedar kenakalan remaja biasa. tapi sudah kriminal. tapi para pelaku juga tak bisa disalahkan seratus persen, karena mereka punya latar belakang berbeda, di mana latar keluarga dan lingkungan tempat tinggal mempengaruhi.