Tana Toraja, Sulsel. Wisata kematian? Hmm… pastinya banyak yang mengira sebagai kegiatan kurang kerjaan. Berwisata kan identik dengan senang-senang, hura-hura ceria, ini kok malah berwisata kematian. Seram, mistis dan seribu tanya mengenai wisata kematian bergelayut di benak saya manakala ditantang seorang kawan untuk melakoni wisata kematian. Edan, kematian kok diwisatakan.
Sempat ragu-ragu saat kesempatan itu menghampiri saya dalam kunjungan perdana ke Tana Toraja, Sulawesi Selatan 2 bulan lewat. Karena rasa ingin tahu amat mendominasi, saya iyakan ajakan kawan-kawan untuk berburu pesta kematian. Ini pasti menjadi pengalaman luar biasa bagi kami semua yang sama-sama baru pertama kali menginjak Tana Toraja.
Untuk ke Tana Toraja kami tempuh perjalanan darat dari Sudiang, pinggiran kota Makassar. Menyewa sebuah mobil minibus, kami berangkat ke Toraja tepat tengah malam. Dan kami mesti menempuh perjalanan lebih dari 9 jam melalui jalur trans Sulawesi. Tiba di Toraja dalam kondisi lelah luar biasa sebab selama di perjalanan umumnya kami tak bisa beristirahat dengan nyaman lantaran sang sopir membawa mobil nyaris tanpa rem alias ngebut.
Kami juga sengaja memilih berangkat tengah malam karena hanya punya waktu sehari pulang pergi ke Toraja. Sebab keesokan harinya sejumlah agenda sudah menanti di Makassar.
Tiba di Rantepao, ibukota Tana Toraja sekitar pukul 9 pagi waktu setempat. Kami beristirahat sejenak di hotel Toraja Misiliana dan bertemu pemilik hotel. Waktu yang sebentar kami manfaatkan untuk melihat-lihat arsitektur khas Toraja yang diwujudkan dengan rumah Tongkonan, di areal tengah komplek hotel.
Pertemuan dengan pemilik hotel kemudian menjadi berkah karena kami memperoleh informasi berharga, ada pesta kematian di salah satu desa di Tana Toraja. Yess… Ini yang kami cari. Sejak dari Jakarta memang kami penasaran ingin sekali melihat langsung upacara kematian adat Toraja yang selama ini hanya bisa disaksikan melalui layar kaca atau foto-foto di media massa.
Upacara Kematian Rambu Solo
Atraksi wisata kematian pertama yang kami sambangi adalah gelaran upacara kematian bernama Rambu Solo. Upacara ini dilakukan warga di desa Parinding, Rantepao. Untuk mencapai lokasi ini tidaklah mudah. GPS yang biasanya jadi andalan saat mencari lokasi, di desa ini tidak banyak membantu. Salah satu penyebabnya adalah sinyal telepon genggam yang kerap blank membuat kami terpaksa mengandalkan GPS alami alias bertanya pada sejumlah orang lokal.
Untuk mencapai lokasi, kami dipandu seorang warga yang kami temui di sebuah pasar. Pemandu dibutuhkan karena dianggap mengerti lokasinya yang cukup jauh dari pusat kota. TKP lokasi upacara kematian berada di sebuah lapangan luas di tengah persawahan. Kendaraan yang kami sewa tak bisa mencapai lokasi lantaran jalanan sedikit rusak. Ini membuat kami harus berjalan kaki sekitar 1 kilometer ke lokasi.
Tiba di lokasi, ternyata prosesi pesta kematian sudah berjalan sejak pagi hari. Kerabat Yunus Limban (orang yang meninggal) sudah berkumpul di lokasi sambil mengikuti rangkaian acara pesta. Jumlah kerabat yang hadir saya perkirakan lebih dari 200 orang. Mereka datang tak hanya dari Tana Toraja saja, melainkan ada pula yang datang dari luar pulau seperti dari Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Bagi warga setempat, pesta kematian itu bak reuni keluarga besar. Semua disempatkan hadir untuk berbelasungkawa sekaligus merekatkan persaudaraan.
Pesta kematian memang menjadi bagian tak terpisahkan dengan keberadaan masyarakat Toraja. Bagi warga setempat kematian menjadi sebuah tahapan istimewa dari sebuah siklus kehidupan. Warga Toraja yang umumnya penganut “aluk” atau adat kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya. Mereka sangat percaya bahwa dengan menggelar pesta kematian berarti mereka mengantarkan dan menghormati arwah menuju ke surga yang abadi.
Dalam adat Toraja, upacara kematian Rambu Solo diadakan guna menghormati jasad orang yang telah meninggal. Dengan membuatkan pesta kematian yang khusus, mereka percaya si arwah akan memasuki fase baru menuju Puya (surga).
Lazimnya sebuah pesta, Rambu Solo juga digelar laksana pesta dengan keramaian maksimal. Karena merupakan sebuah pesta, jangan heran jika ‘biaya’ pesta ini juga lumayan besar.
Ratusan hingga Ribuan Keluarga Hadir
Upcara Rambu Solo yang digelar di desa Parinding ini menurut ukuran warga setempat bukanlah yang paling ‘wah’. Karena ‘hanya’ digelar selama 3 hari. Bagi keluarga kaya upacara sejenis bisa digelar selama seminggu, dua minggu atau sebulan penuh. Semuanya tergantung kemampuan keluarga yang meninggal dan tentunya kesepakatan antar anggota keluarga.
Kesekapatan keluarga dimungkinkan sebab ini menyangkut martabat dan nama baik keluarga. Semakin kaya, pihak keluarga akan menggelar upacara dengan mengundang ribuan sanak famili dari berbagai daerah di tanah air.
Kekayaan keluarga yang menggelar upacara Rambu Solo bisa dilihat dari jumlah hewan kerbau dan babi yang disembelih di acara tersebut. Semakin banyak jumlah hewan yang disembelih menunjukkan seberapa kaya dan terpandangnya pihak keluarga.
Kembali ke Rambu Solo..
Apa yang terjadi dalam 3 hari pelaksanaan rambu solo? Hari pertama, jasad mendiang diarak dari rumah duka ke lokasi upacara. Di sini jasad dibaringkan di rumah tongkonan. Sementara hari kedua yang saya datangi, diadakan persembahan tarian Ma’ Badong dan dibarengi penyembelihan hewan babi. Dan esok harinya, jasad mendiang dikebumikan di pemakaman gunung batu atau gua.
Saat saya hadir di sini, sajian tarian Ma’Badong sedang berjalan. Sekitar 70 orang pemuda menari sambil berputar dalam lingkaran. Semua penari mengenakan pakaian serba hitam tanda duka cita. Sambil berputar mereka menyanyikan lagu dengan nada menyayat hati. Saya sendiri tak paham isi lagunya, namun seorang ibu peserta rambu solo menjelaskan makna dibalik Ma’ Badong.
Selain Ma’Badong, dalam prosesi pesta kematian Rambu Solo juga dilakukan penyembelihan sejumlah hewan ternak seperti kerbau dan babi. Hewan-hewan ini merupakan simbol kemakmuran bagi keluarga yang berduka. Semakin terhormat keluarga tersebut ditandai dengan banyaknya jumlah ekor hewan yang disembelih. Dan hasil penyembelihan itu dipanggang atau dimasak untuk kemudian dikonsumsi bersama-sama.
Dari wisata kematian ini saya bisa mengambil kesimpulan, warga Tana Toraja amat teguh memegang tradisi turun temurun yang sudah diwariskan ratusan tahun lamanya. Mereka juga komit dengan tetek bengek prosesi yang menurut ukuran orang modern cukup rumit dan jlimet.
Saran saya, saat menyaksikan pesta kematian Rambu Solo, anda sebaiknya punya pandangan yang terbuka. Prosesi ini sangat jauh berbeda dari prosesi kematian yang biasa dilakukan komunitas agama lain. Karena itu terbukalah pada benturan budaya yang bisa saja terjadi di saat pertama ‘nyicipin’ berada di dalam pesta kematian ala Toraja.
Menarik! Beruntung banget ya bisa lihat langsung upacara adat di sana 🙂
benar bro, keberuntungan karena tidak setiap hari uoacara ini digelar di Toraja.
Semoga kesampaian juga mampir sini
saya sudah ngimpi ke Toraja sejak lama. makanya begitu ada kesempatan langsung disamber deh
wah seru juga kisahnya Anna. bisa jadi kisah FTV tuh. hehe…
tapi indah lho Oom Cumi mati kek gitu, dipestain 7 hari 7 malam…malah ada yang sebulan
lumayan jauh mbak, sekitar 8 jam. kalau kesana lebih baik nginep jadi bisa banyak yang dieksplor
padahal aslinya sih agak mual-mual juga sih lihat babi bergelimpangan gitu. hehe…
makasih Hani.. mestinya di kota ini beberapa hari agar bisa eksplor banyak hal.. kalau sampai ke Makassar usahakan cari waktu ke Toraja. wajib tuh
hahaha… pengalaman penumpang baris belakang bang..