0 0
Read Time:3 Minute, 14 Second

Depan danau UI

Hari Sabtu (17 Sept) suasana kampus UI Depok riuh rendah. Suara canda, tawa sudah terdengar sejak mentari malu-malu bersinar. Kami sekeluarga sudah berada di kampus sejak pukul 6 pagi. Memang masih teramat pagi untuk hadir dalam prosesi wisuda yang dimulai pukul 9.

Tapi kami sengaja hadir lebih cepat, karena harus mengantar Handar, ponakan yang akan ikut penyambutan mahasiswa baru. Selain itu kami juga tak ingin dipusingkan dengan parkir kendaraan yang pastinya bakal ribet.

Sesungguhnya bagi saya prosesi wisuda tak penting-penting amat. Saya sudah mengalaminya dulu di jenjang S-1 di Unpad Bandung. Wisuda yang pertama saya persembahkan bagi kedua orang tua. Berkat keduanya saya bisa menempuh pendidikan hingga jenjang sarjana. Sebuah pencapaian yang luar biasa bagi keluarga besar kami. Mengingat saat itu belum satupun dalam garis keluarga bapak dan ibu yang bisa mencicipi pendidikan tinggi, apa yang saya capai menjadi sejarah besar dalam keluarga.

Entah apakah berkat pencapaian saya tersebut, kemudian sejumlah sepupu dan keponakan terinspirasi juga untuk kuliah.

Namun bagi saya kuliah adalah cerita luar biasa. Karena bapak ibu sampai harus jual tanah untuk bisa membiayai kuliah saya. Perjuangan itulah yang terus-menerus terpatri dalam benak saya. Bahwa pendidikan harus diupayakan, bagaimanapun caranya, seberat apapun resikonya. Karena saya sadar, pendidikan adalah jendela untuk melihat dunia.

Selama ini saya memilih untuk menunda sejumlah kemewahan hidup demi menggapai pendidikan. Itu sudah kami mulai sejak istri memutuskan kembali ke bangku kuliah dan mengambil program S2 Komunikasi Pembangunan di IPB Bogor. Keuangan keluarga harus diperketat demi mensupport pendidikan istri. Meski harus menunda sejumlah kesenangan, bukan berarti hidup kami menderita karenanya. Saya hanya mengajarkan kepada anak-anak untuk bisa membuat prioritas hidup. Ada hal-hal yang penting dan harus didahulukan, sementara kebutuhan tertier bisa digeser dulu karena bukan sesuatu yang mendesak untuk dipenuhi.

Begitu pula saat tahun 2009 giliran saya merasa harus back to school. Otak mesti direcharge karena sudah terlalu banyak terpolusi pekerjaan. Dari mana saya harus dapatkan biaya kuliah? Begitu kata hati saya bertanya-tanya. Penghasilan gabungan kami tiap bulan rasanya kok tak mungkin bisa mencukupi kebutuhan tambahan ini. Apalagi kebutuhan biaya pendidikan anak terus bertambah.

Sempat tarik ulur untuk lanjut. Tapi hasil tes di UI menguatkan niat saya untuk terus maju. Istri bilang, ayo kapan lagi bisa kuliah mumpung anak belum besar-besar. Ya sudah, berbekal bismilah saya pun membulatkan tekad untuk kembali kuliah.

Bukan persoalan mudah kuliah sembari bekerja. Itu juga saya alami. Ternyata sangat berat diarungi. Saat mulai kuliah saya harus pegang program berita pagi. Artinya saya masuk kerja malam hingga pagi hari. Kuliah sore hingga jam 9 malam. Selepas itu harus sudah tiba di kantor.

Lelah jelas, sangat malah. Di akhir pekan bukan sekali saya jatuh sakit kelelahan. Apalagi saya juga sempat tak ada libur di satu semester demi mengejar dana tambahan buat kuliah. Senin-Jum’at saya kuliah dan bekerja. Sementara Sabtu-Minggu mengajar. Wow.

Bareng keluarga besar

Di tahun kedua saya nyaris putus kuliah. Saya merasa kewalahan membagi waktu. Saat itu saya merasa tak adil menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk kuliah dan bekerja, sementara waktu bagi keluarga sangat minim. Tapi saya akhirnya tetap maju meski agak merasa bersalah juga dengan anak-istri.

Saat menyusun tesis ternyata masalah baru kembali menghadang. Tenggat waktu yang diberikan kampus membuat saya stress berat. Nyaris saya tak mampu mengimbangi tenggat itu jika tak diberi support terus-menerus dari dosen pembimbing dan juga istri. Sebagai pembimbing mas Irwansyah terus menyuntikkan semangat yang tak ada habisnya dan berhasil meyakinkan bahwa saya bisa menyelesaikan ini.

Sementara istri terus-menerus membakar semangat agar tesis selesai tepat waktu. Jika tidak, saya harus merelakan uang 10,6 juta untuk almamater tercinta sebagai perpanjangan masa studi. Karena memikirkan uang itu, motivasi sayapun bangkit hingga studi berhasil saya selesaikan tepat waktu.

Alhamdulillah ya, 2 tahun yang luar biasa bagi saya.

About Post Author

syaifuddin sayuti

Ex jurnalistik tv yang gemar makan dan travelling. social media addict, ex Kepsek Kelas Blogger, admin BRID.
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %