0 0
Read Time:2 Minute, 44 Second

Kebebasan berekspresi adalah bagian dari hak asasi yang harusnya dijamin oleh Undang-undang. Alih-alih zaman sudah berubah dengan cepatnya, namun kebebasan berekspresi di tiap negara masih memprihatinkan. Berdasarkan catatan Reporters Without Borders, di ASEAN ada sejumlah negara yang kondisi kebebasan berekspresinya masih jauh dari harapan.

Filipina misalnya, negeri ini dikenal sebagai tempat yang tidak bersahabat bahkan berbahaya bagi profesi jurnalis. Sejumlah jurnalis harus meregang nyawa gara-gara berita yang ditulisnya. Umumnya mereka ‘dihabisi’ karena menyingkap praktek korupsi hingga mengkritisi kelemahan pemerintahan.

Peristiwa terakhir terjadi 1 Agustus 2013 menimpa wartawan Mario Sy, yang dibunuh dengan tembakan jarak dekat di depan anak istrinya.

Sebelumnya, 30 Juli 2013, dua wartawan tabloid Aksyon Ngayon, yakni Richard Kho dan Bonifacio Loreto, juga tewas dibunuh. Keduanya ditembak di Manila, dan diduga akibat tulisan yang dimuat di tabloid tempat mereka bekerja.

Namun peristiwa paling menggemparkan terkait dengan ancaman kebebasan berekspresi adalah pembantaian 58 orang di propinsi Maguindanao, Filipina Selatan di tahun 2009. Dari 58 yang tewas, 32 orang diantaranya adalah wartawan. Kasus ini tidak pernah tuntas terungkap, karena satu persatu saksi yang dihadirkan di pengadilan kemudian tewas. Pengadilan pun sepertinya berada di dalam ‘genggaman’ kelompok tertentu dengan mencuatnya dugaan penyuapan aparat hukum, hingga ancaman terhadap para penggugat.

Komite Perlindungan Wartawan mencatat, sejak tahun 1992 sedikitnya 73 wartawan tewas terbunuh di Filipina. Jumlah tersebut bisa jadi lebih besar karena tak semua kasus kekerasan terhadap wartawan terungkap ke permukaan.

Melihat catatan Filipina tersebut, saya berfikir, ada apa sebenarnya di Filipina? Mengapa jaman yang sudah sedemikian maju dan perkembangan Hak Asasi Manusia di banyak negara menunjukkan grafik menanjak, justru di Filipina, negeri yang semula saya golongkan sebagai negeri ‘beradab’, justru menunjukkan hal sebaliknya.

Penyebabnya bisa bermacam-macam. Angka catatan Kejahatan yang tinggi bisa diakibatkan kemudahan kepemilikan senjata api warga sipil secara ilegal. Sejumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan jelas menunjukkan penggunaan senjata api di negeri tersebut sudah sampai tahap mencemaskan. Peredaran senjata api harusnya dikendalikan otoritas pemerintah agar tidak disalahgunakan.

Penyebab lain adalah rendahnya wibawa pengadilan. Selama pengadilan masih berada di bawah bayang-bayang kelompok mafia atau kelompok kejahatan terorganisir, maka akan sulit dilakukan penegakan hukum yang adil. Ini juga terkait dengan impunitas atau kekebalan hukum yang dimiliki kalangan tertentu, sehingga banyak kasus kejahatan, termasuk kejahatan pembunuhan jurnalis tak pernah benar-benar terungkap.

Ke depan, jika Filipina ingin dipandang sebagai bangsa yang menghormati demokrasi, pemerintah harus mengupayakan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Biarkan jurnalis atau blogger menyuarakan pendapat mereka di media masing-masing. Jika ada hal yang mengganggu atau melanggar ketentuan, lembaga peradilan mestinya dijadikan solusi.

Untuk yang satu itu, menurut saya Indonesia masih jauh lebih baik. Setidaknya angka catatan kekerasan terhadap wartawan tidak setajam Filipina. Kendati demikian, Indonesia juga belum bisa dikatakan ‘aman’ karena dari 179 negara yang disurvey Reporter Without Borders, di tahun 2013 posisi Indonesia masih berada di level 139. Dalam hal kebebasan pers di dunia, Posisi terbaik pernah diraih Indonesia yakni di tahun 2009-2010, berada di posisi 100. Setelah itu posisinya terus turun.

Angka tersebut menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Indonesia terkait kebebasan berekspresi. Jaminan terhadap kebebasan berekspresi mesti harus terus didorong. Kebebasan berekspresi bukan hanya diberikan kepada jurnalis ataupun blogger, namun juga diberikan kepada semua warga negara.

Filipina mestinya berguru pada Indonesia soal kebebasan berekspresi. Terus mengupayakan dan meliundungi kebebasan berekspresi tanpa pertumpahan darah.

@syai_fuddin
#8 #10DaysForASEAN

About Post Author

syaifuddin sayuti

Ex jurnalistik tv yang gemar makan dan travelling. social media addict, ex Kepsek Kelas Blogger, admin BRID.
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %